Kupas Tuntas Bullying di Sekolah dari Akar Penyebab hingga Solusi Komprehensif untuk Sekolah, Guru, dan Siswa

www.gurukitaa.my.id - Kasus perundungan atau bullying di lingkungan sekolah terus menjadi berita yang memprihatinkan. Data dari berbagai lembaga, termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), secara konsisten menunjukkan bahwa sekolah belum menjadi tempat yang sepenuhnya aman bagi setiap anak. Seringkali, sebuah cerita tragis tentang seorang siswa yang mengalami depresi, cidera fisik, atau bahkan kehilangan nyawa, berawal dari tindakan bullying yang dianggap "candaan" namun terjadi berulang kali.

Secara definisi, bullying (perundungan) adalah tindakan agresif yang disengaja dan dilakukan secara berulang oleh seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kekuatan lebih (fisik maupun sosial) terhadap orang lain yang lebih lemah. Perundungan bisa hadir dalam berbagai bentuk: Fisik (memukul, mendorong), Verbal (mengejek, mengancam, memberi julukan negatif), Sosial/Relasional (mengucilkan, menyebar rumor), dan Cyberbullying (mengirim pesan ancaman atau mempermalukan melalui media digital).

Penting untuk ditegaskan bahwa bullying bukan sekadar "kenakalan remaja biasa" atau "bagian dari proses pendewasaan." Ini adalah masalah serius dengan dampak jangka panjang yang merusak, tidak hanya bagi korban, tetapi juga bagi pelaku dan saksi. Dampaknya mencakup gangguan kesehatan mental, depresi, kecemasan, menurunnya prestasi akademik, hingga pikiran untuk bunuh diri.

Untuk memutus rantai setan ini, diperlukan pemahaman mendalam atas akarnya dan solusi praktis yang melibatkan setiap elemen di sekolah. Artikel ini akan mengupas tuntas akar penyebab bullying dan menyajikan solusi komprehensif yang harus diambil oleh tiga pilar utama: institusi sekolah, para guru, dan siswa itu sendiri.

BAGIAN 1: MEMBEDAH AKAR PENYEBAB BULLYING

Untuk mengatasinya, kita harus terlebih dahulu memahami akarnya. Penyebab bullying sangat kompleks dan multifaktor, berasal dari berbagai sisi kehidupan anak.

A. Faktor Individu (Fokus pada Pelaku)

Seringkali, pelaku perundungan adalah individu yang berjuang dengan masalahnya sendiri. Mereka mungkin memiliki kebutuhan kuat untuk mendominasi dan mengontrol orang lain sebagai kompensasi atas rasa rendah diri atau insecurity yang tersembunyi. Banyak pelaku juga menunjukkan kurangnya empati dan keterampilan sosial untuk berinteraksi secara sehat. Dalam beberapa kasus, mereka adalah korban kekerasan di lingkungan lain (seperti di rumah) dan meniru perilaku agresif tersebut di sekolah—sebuah siklus kekerasan di mana korban berubah menjadi pelaku. Kesulitan dalam mengelola emosi dan impulsivitas juga menjadi faktor pendorong yang signifikan.

B. Faktor Lingkungan Keluarga

Keluarga adalah fondasi pertama karakter anak. Pola asuh yang tidak tepat, baik itu terlalu keras/otoriter, terlalu memanjakan/permisif, atau abai (kurang perhatian), dapat berkontribusi pada pembentukan perilaku agresif. Anak yang menjadi saksi atau korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) belajar bahwa kekerasan adalah cara yang sah untuk menyelesaikan masalah. Kurangnya kehangatan, komunikasi positif, dan figur teladan di rumah membuat anak mencari validasi dengan cara yang salah di luar rumah.

C. Faktor Lingkungan Sekolah

Sekolah tanpa sadar bisa menjadi lahan subur bagi perundungan. Iklim sekolah yang "permisif"—di mana guru atau staf menganggap bullying sebagai hal wajar—adalah pemicu utama. Kurangnya pengawasan guru di area rawan seperti kantin, toilet, halaman belakang, atau saat jam istirahat memberi peluang bagi pelaku. Selain itu, aturan sekolah yang tidak jelas atau tidak ditegakkan secara konsisten mengirimkan sinyal bahwa tindakan tersebut tidak memiliki konsekuensi serius. "Budaya" senioritas yang kaku atau hierarki sosial yang tajam di antara siswa juga seringkali menormalkan penindasan terhadap yang lebih muda atau "berbeda".

D. Faktor Sosial dan Media

Di luar sekolah, anak terus-menerus terpapar berbagai pengaruh. Adanya tekanan teman sebaya (peer pressure) membuat beberapa anak ikut-ikutan melakukan bullying agar merasa diterima dalam sebuah kelompok. Paparan kekerasan yang konstan dari media, baik itu film, video game, atau media sosial, dapat menumpulkan kepekaan anak terhadap agresi. Terlebih lagi, normalisasi agresi dan perundungan di media sosial (cyberbullying) membuat batas antara candaan dan pelecehan menjadi kabur.

BAGIAN 2: SOLUSI KOMPREHENSIF (PERAN TIGA PILAR)

Mengatasi bullying tidak bisa dibebankan pada satu pihak saja. Ini adalah tanggung jawab kolektif yang membutuhkan kerja sama erat antara sekolah, guru, dan siswa.

A. Peran Sekolah (Level Institusi & Kebijakan)

  1. Membangun Kebijakan "Zero Tolerance" yang Jelas: Sekolah harus memiliki kebijakan anti-bullying yang tertulis, spesifik, dan disosialisasikan ke seluruh warga sekolah (siswa, guru, staf, dan orang tua). Kebijakan ini harus mencakup definisi yang jelas tentang apa itu bullying dan menetapkan konsekuensi yang jelas, konsisten, dan bersifat mendidik—bukan sekadar menghukum.

  2. Menciptakan Saluran Pelaporan yang Aman: Banyak korban takut melapor karena takut akan balasan. Sekolah wajib menyediakan sistem pelaporan yang aman, mudah diakses, dan idealnya anonim (seperti kotak aduan fisik, hotline, email khusus, atau formulir online). Yang terpenting, sekolah harus menjamin perlindungan penuh bagi pelapor dan korban.

  3. Menciptakan Iklim Sekolah yang Positif dan Inklusif: Pencegahan lebih baik daripada penanganan. Sekolah harus proaktif menjalankan program pencegahan, seperti "Program Roots" (yang terbukti efektif di Indonesia), pendidikan karakter, dan hari anti-bullying. Selain itu, dorong kegiatan ekstrakurikuler yang membangun kerja sama dan inklusivitas, bukan hanya kompetisi.

  4. Menyediakan Layanan Dukungan: Peran Guru BK/Konselor harus dioptimalkan. Mereka harus menyediakan pendampingan psikologis intensif bagi korban untuk memulihkan trauma dan kepercayaan diri. Pada saat yang sama, pelaku juga membutuhkan bimbingan untuk mengubah perilakunya dan mengatasi masalah yang mendasarinya.

  5. Pelibatan Orang Tua: Sekolah harus secara rutin mengadakan edukasi bagi orang tua tentang cara mengenali tanda-tanda anak menjadi korban atau pelaku bullying, serta cara berkomunikasi efektif dengan anak di rumah.

B. Peran Guru (Level Pendidik & Garda Terdepan)

  1. Deteksi Dini dan Kepekaan: Guru adalah yang paling sering berinteraksi dengan siswa. Mereka harus dilatih untuk peka dan mampu mengenali tanda-tanda siswa yang menjadi korban (misalnya, tiba-tiba menarik diri, prestasi akademik turun drastis, sering absen, atau menunjukkan luka fisik). Mereka juga harus peka terhadap dinamika sosial yang terjadi di dalam kelas.

  2. Intervensi Langsung: Jangan pernah mengabaikan, meremehkan, atau menertawakan laporan bullying. Ketika melihat insiden terjadi, guru harus segera menghentikannya secara tegas. Namun, penanganan lanjutan (menasihati pelaku) sebaiknya tidak dilakukan di depan umum agar tidak mempermalukan dan memicu agresi lebih lanjut.

  3. Integrasi Pendidikan Anti-Bullying dalam Pelajaran: Guru mata pelajaran apapun dapat berkontribusi. Sisipkan pelajaran tentang empati, resolusi konflik, menghargai perbedaan, dan kecerdasan digital (digital citizenship) dalam materi pelajaran yang relevan.

  4. Menjadi Panutan (Role Model): Siswa meniru apa yang mereka lihat. Guru harus menjadi panutan utama dalam berkomunikasi dengan hormat, adil, dan tidak memberi label negatif ("kamu nakal," "kamu bodoh") pada siswa.

  5. Membangun Komunikasi Terbuka: Ciptakan suasana kelas yang hangat di mana siswa merasa aman, didengar, dan percaya untuk menceritakan masalah mereka kepada guru tanpa takut dihakimi.

C. Peran Siswa (Level Individu & Teman Sebaya)

  1. Bagi Siswa yang Menjadi Korban:

    • Berani Berbicara (Speak Up): Ini adalah langkah terpenting. Segera laporkan kepada orang dewasa yang kamu percaya (guru, orang tua, konselor). Menjaga rahasia pelaku tidak akan menghentikan bullying, itu hanya akan membuatnya berlanjut.

    • Latihan Asertivitas: Jika situasi aman, belajar untuk mengatakan "Hentikan!" dengan suara tegas dan bahasa tubuh yang percaya diri, lalu segera pergi.

    • Jangan Membalas: Membalas dengan kekerasan atau ejekan balasan seringkali hanya akan memperburuk situasi dan menempatkanmu dalam bahaya.

    • Cari Dukungan: Jangan mengisolasi diri. Bergabunglah dengan teman atau kelompok yang positif dan suportif.

  2. Bagi Siswa yang Menjadi Saksi (Bystander):

    • Menjadi "Upstander", bukan "Bystander": Saksi (bystander) yang hanya diam atau ikut menertawakan memberi kekuatan pada pelaku. Jadilah upstander (pembela).

    • Tindakan 4M:

      • Menegur: Jika kamu merasa aman, tegur pelaku secara langsung bahwa tindakannya tidak keren.

      • Membela: Dampingi korban. Ajak korban pergi dari situasi tersebut ("Ayo, kita ke kantin bareng aja").

      • Melaporkan: Jika kamu tidak berani menegur langsung, segera cari bantuan guru atau staf sekolah. Melapor bukan "cepu", tapi itu tindakan pahlawan.

      • Menemani: Tunjukkan dukungan pada korban setelah kejadian. Tanyakan kabarnya dan pastikan ia tahu bahwa ia tidak sendirian.

  3. Bagi Siswa yang (Terlanjur) Menjadi Pelaku:

    • Mencari Bantuan: Sadari bahwa perilaku merugikan orang lain adalah tanda bahwa kamu sedang membutuhkan bantuan. Ada sesuatu dalam dirimu yang perlu diselesaikan.

    • Bicara pada Orang Dewasa: Jangan takut. Bicaralah pada konselor, guru, atau orang tua tentang apa yang kamu rasakan.

    • Belajar Empati: Cobalah untuk memposisikan dirimu sebagai orang yang kamu sakiti. Pikirkan perasaan mereka.

    • Menyalurkan Energi: Cari kegiatan positif untuk menyalurkan energimu, seperti olahraga, seni, musik, atau organisasi. Kamu bisa hebat tanpa harus menyakiti orang lain.

D. Perspektif Tambahan: Pandangan Guru Agama Islam

Pendidikan karakter tidak lengkap tanpa fondasi spiritual. Sebagai Guru Agama Islam, perannya adalah menginternalisasikan nilai-nilai agama sebagai benteng moral terkuat melawan perundungan.

1. Larangan Menghina dan Kezaliman (Zalim): Ajaran Islam sangat tegas melarang perundungan. Ini adalah bentuk kezaliman (zalim) terhadap sesama. Al-Qur'an secara spesifik menyebutkan dalam Surat Al-Hujurat [49:11]: 

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌۭ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًۭا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌۭ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًۭا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَـٰبِ ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَـٰنِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ 

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain... dan jangan pula kamu saling mencela (talmizu) dan saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk (tanabazu bil-alqab)." Ini adalah dalil yang sangat jelas untuk bullying verbal dan sosial.
  1. Menjaga Ukhuwah (Persaudaraan): Konsep ukhuwah (persaudaraan) adalah inti ajaran sosial Islam. Menyakiti, mengucilkan, atau merendahkan teman sama dengan merusak persaudaraan. Seorang Muslim diajarkan untuk "mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri." Jika kita tidak suka diperlakukan buruk, kita tidak boleh melakukannya pada orang lain.

  2. Kewajiban Mencegah Kemungkaran (Nahi Munkar): Peran "upstander" (pembela) dalam Islam bukan sekadar pilihan sosial, tapi kewajiban. Ini adalah bagian dari "amar ma'ruf nahi munkar" (mengajak kebaikan, mencegah keburukan). Melihat teman dirundung dan tidak menolong (padahal mampu) adalah bentuk pembiaran terhadap kemungkaran.

  3. Akuntabilitas di Akhirat: Guru agama mengingatkan bahwa setiap perbuatan, ucapan, dan ketikan jari (cyberbullying) dicatat oleh malaikat Raqib dan Atid. Akan ada pertanggungjawaban di akhirat. Ini menanamkan "rem internal" (self-control) bahwa meskipun guru atau orang tua tidak melihat, Allah Maha Melihat.

Peran guru agama adalah mentransformasi aturan "jangan mem-bully" dari sekadar peraturan sekolah menjadi bagian dari keimanan siswa.

PENUTUP

Bullying adalah masalah kompleks yang berakar dari faktor individu, keluarga, sekolah, dan sosial. Karena itu, solusi yang ditawarkan tidak bisa bersifat parsial atau reaktif semata.

Menghentikan perundungan membutuhkan komitmen berkelanjutan dan sinergi total dari tiga pilar utama: Sekolah sebagai pembuat kebijakan yang tegas, Guru sebagai garda terdepan yang peka dan suportif, serta Siswa sebagai agen perubahan yang berani menjadi pembela (upstander).

Sudah saatnya kita semua berhenti menoleransi dan menormalisasi bullying dalam bentuk apapun. Mari bersama-sama bergerak, tidak hanya bereaksi ketika sudah ada korban, tetapi proaktif menciptakan lingkungan sekolah yang benar-benar aman, nyaman, dan suportif bagi setiap anak untuk bertumbuh.

Posting Komentar

0 Komentar